Kamis, 28 Oktober 2010

Askep ISK


INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

A. Pengertian
KeInfeksi Saluran mih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.
(Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)

B. Klasifikasi
Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:
1. Kandung kemih (sistitis)
2. uretra (uretritis)
3. prostat (prostatitis)
4. ginjal (pielonefritis)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
1. ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.
2. ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
a. Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
b. Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
c. Gangguan daya tahan tubuh
d. Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.

C. Etiologi
1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
b. Mobilitas menurun
c. Nutrisi yang sering kurang baik
d. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
e. Adanya hambatan pada aliran urin
f. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

D. Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
? masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
? Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal

Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
? Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
? Mobilitas menurun
? Nutrisi yang sering kurang baik
? System imunnitas yng menurun
? Adanya hambatan pada saluran urin
? Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.

Pathway : terlampir

E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):
? Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
? Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
? Hematuria
? Nyeri punggung dapat terjadi
Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)
? Demam
? Menggigil
? Nyeri panggul dan pinggang
? Nyeri ketika berkemih
? Malaise
? Pusing
? Mual dan muntah

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
? Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
? Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2. Bakteriologis
? Mikroskopis
? Biakan bakteri
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
5. Metode tes
? Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
? Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
? Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

G. Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
? Terapi antibiotika dosis tunggal
? Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
? Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
? Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
? Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
? Interansi obat
? Efek samping obat
? Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
1. Efek nefrotosik obat
2. Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut:
? Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/
? Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh membahnayakan/
? Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?
? Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan?

H. Pengkajian
1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
? Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
? Adakah obstruksi pada saluran kemih?
3. Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial.
? Bagaimana dengan pemasangan kateter foley?
? Imobilisasi dalam waktu yang lama.
? Apakah terjadi inkontinensia urine?
4. Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
? Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)
? Adakah disuria?
? Adakah urgensi?
? Adakah hesitancy?
? Adakah bau urine yang menyengat?
? Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
? Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah
? Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas
? Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.
5. Pengkajian psikologi pasien:
? Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya.

I. Diagnosa Keperawatan Yang Timbul
1. Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

J. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1 :
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
Kriteria evaluasi:
Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul
Intervensi:
a. Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih, masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
b. Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
c. Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat;
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
d. Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus
Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
e. Berikan perawatan perineal
Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
f. Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari.
Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
g. Kolaborasi:
? Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau bertambah sakit
Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas
? Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri
h. Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar . Pemberian air sampai 2400 ml/hari
Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan membentu membilas saluran berkemih

2. Dx 2:
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Kriteria Evaluasi:
Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria)
Intervensi:
a. Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
b. Tentukan pola berkemih pasien
c. Dorong meningkatkan pemasukan cairan
Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
d. Kaji keluhan kandung kemih penuh
Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung kemih/ginjal)
e. Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
f. Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
Rasional: untuk mencegah statis urin
g. Kolaborasi:
? Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
? Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.

3. Dx 3:
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
Intervensi:
a. Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng
Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi.
b. Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
c. Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan
Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan
d. Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, inum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri
e. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.

Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.

Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI

Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.

Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.

Askep Hipotermia dan hipertermia


HIPOTERMIA & HIPERTERMIA

HIPOTERMIA

Suhu normal pada neonatus berkisar antara 360C - 37,50C pada suhu ketiak. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 360C atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C - <360C). Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.

Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.

Etiologi dan faktor presipitasi

- Prematuritas

- Asfiksia

- Sepsis

- Kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan cerebral

- Pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran

- Eksposure suhu lingkungan yang dingin

Penanganan hipotermia ditujukan pada: 1) Mencegah hipotermia, 2) Mengenal bayi dengan hipotermia, 3) Mengenal resiko hipotermia, 4) Tindakan pada hipotermia.

Tanda-tanda klinis hipotermia:

a. Hipotermia sedang:

- Kaki teraba dingin

- Kemampuan menghisap lemah

- Tangisan lemah

- Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata

b. Hipotermia berat

- Sama dengan hipotermia sedang

- Pernafasan lambat tidak teratur

- Bunyi jantung lambat

- Mungkin timbul hipoglikemi dan asidosisi metabolik

c. Stadium lanjut hipotermia

- Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang

- Bagian tubuh lainnya pucat

- Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan (sklerema)

HIPERTERMIA

Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya bagi bayi. Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan yang udaranya panas, terlalu banyak pakaian dan selimut.

Gejala hipertermia pada bayi baru lahir :

- Suhu tubuh bayi > 37,5 C

- Frekuensi nafas bayi > 60 x / menit

- Tanda-tanda dehidrasi yaitu berat badan menurun, turgor kulit kurang, jumlah urine berkurang

Pengkajian hipotermia & hipertermia

1. Riwayat kehamilan

- Kesulitan persalinan dengan trauma infant

- Penyalahgunaan obat-obatan

- Penggunaan anestesia atau analgesia pada ibu

2. Status bayi saat lahir

- Prematuritas

- APGAR score yang rendah

- Asfiksia dengan rescucitasi

- Kelainan CNS atau kerusakan

- Suhu tubuh dibawah 36,5 C atau diatas 37,5 C

- Demam pada ibu yang mempresipitasi sepsis neonatal

3. Kardiovaskular

- Bradikardi

- Takikardi pada hipertermia

4. Gastrointestinal

- Asupan makanan yang buruk

- Vomiting atau distensi abdomen

- Kehilangan berat badan yang berarti

5. Integumen

- Cyanosis central atau pallor (hipotermia)

- Kulit kemerahan (hipertermia)

- Edema pada muka, bahu dan lengan

- Dingin pada dada dan ekstremitas(hipotermia)

- Perspiration (hipertermia)

6. Neorologic

- Tangisan yang lemah

- Penurunan reflek dan aktivitas

- Fluktuasi suhu diatas atau dibawah batas normal sesuai umur dan berat badan

7. Pulmonary

- Nasal flaring atau penurunan nafas, iregguler

- Retraksi dada

- Ekspirasi grunting

- Episode apnea atau takipnea (hipertermia)

8. Renal

- Oliguria

9. Study diagnostik

- Kadar glukosa serum, untuk mengidentifikasi penurunan yang disebabkan energi yang digunakan untuk respon terhadap dingin atau panas

- Analisa gas darah, untuk menentukan peningkatan karbondoksida dan penurunan kadar oksigen, mengindikasikan resiko acidosis

- Kadar Blood Urea Nitrogen, peningkatan mengindikasikan kerusakan fungsi ginjal dan potensila oliguri

- Study elektrolit, untuk mengidentifikasi peningkatan potasium yang berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal

- Kultur cairan tubuh, untuk mengidentifikasi adanya infeksi

Diagnosa keperawatan

Dx.1. Suhu tubuh abnormal berhubungan dengan kelahiran abnormal, paparan suhu lingkungan yang dingin atau panas.

Tujuan 1 : Mengidentifikasi bayi dengan resiko atau aktual ketidakstabilan suhu tubuh

Tindakan :

1. Kaji faktor yang berhubungan dengan resiko fluktuasi suhu tubuh pada bayi seperti prematuritas, sepsis dan infeksi, aspiksia atau hipoksia, trauma CNS, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin, trauma lahir dan riwayat penyalahgunaan obat pada ibu

2. Kaji potensial dan aktual hipotermia atau hipertermia :

- Monitor suhu tubuh, lakukan pengukuran secara teratur

- Monitor suhu lingkungan

- Cegah kondisi yang menyebabkan kehilangan panas pada bayi seperti baju basah atau bayi tidak kering, paparan uadara luar atau pendingin ruangan

- Cek respiratory rate (takipnea), kedalaman dan polanya

- Observasi warna kulit

- Monitor adanya iritabilitas, tremor dan aktivitas seizure

- Monitor adanya flushing, distress pernafasan, episode apnea, kelembaban kulit, dan kehilangan cairan.

Tujuan 2. Mencegah kondisi yang dapat mencetuskan fluktuasi suhu tubuh

Tindakan :

1. Lindungi dinding inkubator dengan

- Meletakkan inkubator ditempat yang tepat

- Suhu kamar perawatan/kamar operasi dipertahankan + 24 C

- Gunakan alas atau pelindung panas dalam inkubator

2. Keringkan bayi baru lahir segera dibawah pemanas

3. Air mandi diatas 37 C dan memandikannnya sesudah bayi stabil dan 6 – 12 jam postnatal, keringkan segera

4. Pergunakan alas pada meja resusitasi atau pemanas

5. Tutup permukaan meja resusitasi dengan selimut hangat, inkubator dihangatkan dulu

6. Pertahankan suhu kulit 36 – 36,5 C

7. Sesedikit mungkin membuka inkubator

8. Hangatkan selalu inkubator sebelum dipakai

9. Gendong bayi dengan kulit menempel ke kulit ibu (metode kangguru)

10. Beri topi dan bungkus dengan selimut

Tujuan 3: Mencegah komplikasi dingin

Tindakan :

1. Kaji tanda stress dingin pada bayi :

- Penurunan suhu tubuh sampai < 32,2 C

- Kelemahan dan iritabilitas

- Feeding yang buruk dan lethargy

- Pallor, cyanosis central atau mottling

- Kulit teraba dingin

- Warna kemerahan pada kulit

- Bradikardia

- Pernafasan lambat, ireguler disertai grunting

- Penurunan aktivitas dan reflek

- Distesi abdomen dan vomiting

2. Berikan treatment pada aktual atau resiko injury karena dingin sebagai berikut :

- Berikan therapy panas secara perlahan dan catat suhu tubuh setiap 15 menit

- Pertimbangkan pemberian plasma protein (Plasmanate) setelah 30 menit

- Berikan oksigen yang telah diatur kelembabannya

- Monitor serum glukosa

- Berikan sodium bikarbonat untuk acidosis metabolik

- Untuk menggantikan asupan makanan dan cairan, berikan dekstrose 10% sampai temeperatur naik diatas 35 C

Dx.2. Deficit pengetahuan (orangtua) berhubungan dengan kondisi bayi baru lahir dan cara mempertahankan suhu tubuh bayi.

Tujuan : Memberikan informasi yang cukup kepada orangtua tentang kondisi bayi dan perawatan yang diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh bayi

Tindakan :

   1. Beri informasi pada orangtua tentang :

- Penyebab fluktuasi suhu tubuh

- Kondisi bayi

- Treatment untuk menstabilkan suhu tubuh

- Perlunya membungkus/menyelimuti bayi saat menggendong dan bepergian

   1. Ajari orangtua cara mengukur suhu tubuh aksila pada bayi dan minta mereka untuk mendemontrasikannya
   2. Informasikan kepada orangtua tentang perawatan saat bayi di inkubator
   3. Anjurkan pasien bertanya, mengklarifikasi yang belum jelas dan menunjukkan prilaku seperti diajarkan

BAYI PREMATUR

Definisi :

Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37 minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur, walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir prematur.

Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah penyakit.

Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS), enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan yang adekuat untuk permasalahn tersebut.

Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% - 80% angka kesakitan dan kematian neonatus.

Etiologi dan faktor presipitasi:

Permasalahan pada ibu saat kehamilan :

- Penyakit/kelainan seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes mellitus.

- Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat

- Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi

- Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol, merokok dan caffeine

Pengkajian

1. Riwayat kehamilan

- Umur ibu dibawah 16 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah

- Kehamilan kembar

- Status sosial ekonomi, prenatal care tidak adekuat, nutrisi buruk

- Kemungkinan penyakit genetik

- Riwayat melahirkan prematur

- Infeksi seperti TORCH, penyakit menular seksual dan lain sebagainya

- Kondisi seperti toksemia, prematur rupture membran, abruptio placenta dan prolaps umbilikus

- Penyalahgunaaan obat, merokok, konsumsi kafeine dan alkohol

- Golongan darah, faktor Rh, amniocentesis.

2. Status bayi baru lahir

- Umur kehamilan antara 24 – 37 minggu, berat badan lahir rendah atau besar masa kehamilan

- Berat badan dibawah 2500 gram

- Kurus, lemak subkutan minimal

- Adanya kelainan fisik yang terlihat

- APGAR skore 1 – 5 menit : 0 – 3 mengindikasikan distress berat, 4 – 6 menunjukkan disstres sedang dan 7 – 10 merupakan nilai normal.

3. Kardiovaskular

- Denyut jantung 120 – 160 x per menit pada sisi apikal dengan irama teratur

- Saat kelahiran, terdengar murmur

4. Gastrointestinal

- Protruding abdomen

- Keluaran mekonium setelah 12 jam

- Kelemahan menghisap dan penurunan refleks

- Pastikan anus tanpa/dengan abnormalitas kongenital

5. Integumen

- Cyanosis, jaundice, mottling, kemerahan, atau kulit berwarna kuning

- Verniks caseosa sedikit dengan rambut lanugo di seluruh tubuh

- Kurus

- Edema general atau lokal

- Kuku pendek

- Kadang-kadang terdapat petechie atau ekimosis

6. Muskuloskeletal

- Cartilago pada telinga belum sempurna

- Tengkorak lunak

- Keadaan rileks, inaktive atau lethargi

7. Neurologik

- Refleks dan pergerakan pada test neurologik tanpa resistansi

- Reflek menghisap, swalowing, gag reflek serta reflek batuk lemah atau tidak efektif

- Tidak ada atau minimalnya tanda neurologik

- Mata masih tertutup pada bayi dengan umur kehamilan 25 – 26 minggu

- Suhu tubuh yang tidak stabil : biasanya hipotermik

8. Pulmonary

- Respiratory rate antara 40 – 60 x/menit dengan periode apnea

- Respirasi irreguler dengan nasal flaring, grunting dan retraksi (interkostal, suprasternal, substrenal)

- Terdengar crakles pada auskultasi

9. Renal

- Berkemih terjadi 8 jam setelah lahir

- Kemungkinan ketidakmampuan mengekresikan sulution dalam urine

10. Reproduksi

- Perempuan : labia mayora belum menutupi klitoris sehingga tampak menonjol

- Laki-laki : testis belum turun secara sempurna ke kantong skrotum, mungkin terdapat inguinal hernia.

11. Data penunjang

- X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas

- Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ

- Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa

- Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia

- Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)

- Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis, analisis feses dan lain sebagainya.

Diagnosa keperawatan

Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan acidosis

Tujuan : Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi paru

Tindakan :

1. Kaji data fokus pada kemungkinan disstres pernafasan yaitu :

- Riwayat penyalahgunaan obat pada ibu atau kondisi abnormal selama kehamilan dan persalinan

- Kondisi bayi baru lahir : APGAR score, kebutuhan resusitasi

- Respiratory rate, kedalaman, takipnea

- Pernafasan grunting, nasal flaring, retraksi dengan penggunaan otot bantu pernafasan (intercostal, suprasternal, atau substernal)

- Cyanosis, penurunan suara nafas

2. Kaji episode apneu yang terjadi lebih dari 20 detik, kaji keadaan berikut :

- Bradykardi

- Lethargy, posisi dan aktivitas sebelum, selama dan setelah episode apnea (sebagai contoh saat tidur atau minum ASI)

- Distensi abdomen

- Suhu tubuh dan mottling

- Kebutuhan stimulasi

- Episode dan durasi apnea

- Penyebab apnea, seperti stress karena dingin, sepsis, kegagalan pernafasan.

3. Berikan dan monitor support respiratory sebagai berikut :

- Berikan oksigen sesuai indikasi

- Lakukan suction secara hati-hati dan tidak lebih dari 5 detik

- Pertahankan suhu lingkungan yang normal

4. Monitor hasil pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui terjadinya acidosis metabolik

5. Berikan oabt-obat sesuai permintaan dokter seperti theophylin IV. Monitor kadar gula darah setiap 1 – 2 hari.

Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas atau perubahan suhu lingkungan

Tujuan : Mempertahankan suhu lingkungan normal

Tindakan :

1. Pertahankan suhu ruang perawatan pada 25 C

2. Kaji suhu rectal bayi dan suhu aksila setiap 2 jam atau bila perlu

3. Tempatkan bayi di bawah pemanas atau inkubator sesuai indikasi

4. Hindarkan meletakkan bayi dekat dengan sumber panas atau dingin

5. Kaji status infant yang menunjukkan stress dingin

Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan kalori.

Tujuan : meningkatkan dan mempertahankan intake kalori yang adekuat pada bayi

Tindakan :

1. Kaji refleks hisap dan reflek gag pada bayi. Mulai oral feeding saat kondisi bayi stabil dan respirasi terkontrol

2. Kaji dan kalkulasikan kebutuhan kalori bayi

3. Mulai breast feeding atau bottle feeding 2 – 6 jam setelah lahir. Mulai dengan 3 – 5 ml setiap kali setiap 3 jam. Tingkatkan asupan bila memungkinkan.

4. Timbang berat badan bayi setiap hari, bandingkan berat badan dengan intake kalori untuk menentukan pemabatasan atau peningkatan intake

5. Berikan infus dextrose 10% jika bayi tidak mampu minum secara oral

6. Berikan TPN dan intralipid jika dibutuhkan

7. Monitor kadar gula darah

Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.

Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Tindakan :

1. Kaji dan hitung kebutuhan cairan bayi

2. Berikan cairan 150 – 180 ml/kg berat badan dan 200 ml/kg berat badan jika dibutuhkan.

3. Timbang berat badan bayi setiap hari

4. Monitor dan catat intake dan output setiap hari, bandingkan jumlahnya untuk menentukan status ketidakseimbangan.

5. Test urine : spesifik gravity dan glikosuria

6. Pertahankan suhu lingkungan normal

7. Kaji tanda-tanda peningkatan kebutuhan cairan :

- Peningkatan suhu tubuh

- Hipovolemik shock dengan penurunan tejanan darah dan peningkatan denut jantung, melemahnya denyut nadi, tangan teraba dingin serta motling pada kulit.

- Sepsis

- Aspiksia dan hipoksia

8. Monitor potassium, sodium dan kadar chloride. Ganti cairan dan elektrolit dengan dextrose 10% bila perlu.

Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat

Tujuan : Infeksi dapat dicegah

Tindakan :

1. Kaji fluktuasi suhu tubuh, lethargy, apnea, iritabilitas dan jaundice

2. Review riwayat ibu, kondisi bayi saat lahir, dan epidemi infeksi di ruang perawatan

3. Amati sampel darah dan drainase

4. Lakukan pemeriksaan CBC dengan hitung leukosit, platelets, dan imunoglubolin

5. Berikan lingkungan yang melindungi bayi dari infekasi :

- Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh bayi

- Ikuti protokol isolasi bayi

- Lakukan tehnik steril saat melakukan prosedur pada bayi

Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan imaturitas kulit

Tujuan : Mempertahankan integritas kulit

Tindakan :

1. Kaji kulit bayi terhadap kemerahan, iritasi, rashes, dan lesi serta keadaan pada area kulit yang tertekan.

2. Kaji tempat-tempat prosedur invasif pada bayi

3. Berikan perawatan kulit setiap hari. Lindungi kulit bayi dari kontak dengan agen pembersih atau plester.

Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada lingkungan intensive care

Tujuan : Mempertahankan stimulasi sensori yang optimal tanpa berlebihan

Tindakan :

1. Kaji kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus. Observasi :

- Deficit neurologik

- Kurangnya perhatian bayi terhadap stimulus

- Tidak ada respon terhadap suara, kontak mata atau tidak adanya refleks normal

- Efek obat terhadap perkembangan bayi

2. Berikan stimulasi visual :

- Arahkan cahaya lampu pada bayi

- Ayunkan benda didepan mata bayi

- Letakkan bayi pada posisi yang memungkinkan untuk kontak mata : tegakkan bayi

3. Berikan stimulasi auditory :

- Bicara pada bayi, lakukan dengan tekanan suara rendah dan jelas

- Panggil bayi dengan namanya, bicara pada bayi saat memberikan perawatan

- Bernyanyi, mainkan musik tape recorder atau hidupkan radio

- Hindari suara bising di sekitar bayi

4. Berikan stimulasi tactile :

- Peluk bayi dengan penuh kasih sayang

- Berikan kesempatan pada bayi untuk menghisap

- Sentuh bayi dengan benda lembut seperti saputangan atau kapas

- Berikan perubahan posisi secara teratur

5. Berikan stimulasi gustatory dengan mendekatkan hidung bayi ke payudara ibu atau ASI yang ditampung.

6. Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup.

Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di rumah

Tujuan :

1. Informasikan orangtua dan keluarga tentang :

- Proses penyakit

- Prosedur perawatan

- Tanda dan gejala problem respirasi

- Perawatan lanjutan dan therapy

2. Ajarkan orangtua dan keluarga tentang treatment pada anak :

- Therapy home oksigen

- Ventilasi mekanik

- Fisiotherapi dada

- Therapy obat

- Therapy cairan dan nutrisi

3. Berikan kesempatan pada keluarga mendemontrasikan perawatan pada bayinya

4. Anjurkan keluarga terlibat pada perawatan bayi

5. Ajarkan keluarga dan orangtua bagaimana menyeimbangkan istirahat dan tidur dan bagaimana menilai toleransi bayi terhadap aktivitas.

Askep fraktur cirugis


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS

I. PENGERTIAN

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)

II. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN

a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
? Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
? Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
? Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
? Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

VIII. KOMPLIKASI
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

IX. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
? kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
? Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
? Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
? Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
? Tachikardi
? Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
? Cailary refil melambat
? Pucat pada bagian yang terkena
? Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
? Kesemutan
? Deformitas, krepitasi, pemendekan
? kelemahan
d. Kenyamanan
? nyeri tiba-tiba saat cidera
? spasme/ kram otot
e. Keamanan
? laserasi kulit
? perdarahan
? perubahan warna
? pembengkakan lokal

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
? Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
? Mempertahankan posisi fungsinal
? Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
? Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Klien menyatajkan nyei berkurang
? Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
? Tekanan darahnormal
? Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik

C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Penyembuhan luka sesuai waktu
? Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

askep dhf


                   ASUHAN KEPERAWATAN DHF

1. Pengertian
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).
2. Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotype yang paling banyak beredar.
3. Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.
5. Diagnosis
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
[1] 1)[2]  Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
[3] 2)[4]  Manifestasi perdarahan :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, purpura, ekimosis
3) Epistaksis, perdarahan gusi
4) Hematemesis, melena.
[5] 3)[6]  Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
[7] 4)[8]  Dengan atau tanpa renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
[9] 5)[10]  Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi
6. Klasifikasi
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
[11] 1)[12]  Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan hemokonsentrasi.
[13] 2)[14]  Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
[15] 3)[16]  Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
[17] 4)[18]  Dejara IV
Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat
dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.
Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnyam limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
8. Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
[19] 1)[20]  Demam chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
[21] 2)[22]  Demam tyfoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
[23] 3)[24]  Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
[25] 4)[26]  Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
[27] 1)[28]  Tirah baring atau istirahat baring.
[29] 2)[30]  Diet makan lunak.
[31] 3)[32]  Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
[33] 4)[34]  Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
[35] 5)[36]  Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
[37] 6)[38]  Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
[39] 7)[40]  Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
[41] [42]  Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
[43] 9)[44]  Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
[45] 10)[46]  Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
[47] 11)[48]  Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
[49] 1.[50]  Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
[51] 2.[52]  Hematokrit yang cenderung mengikat.
10. Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
[53] 1)[54]  Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
[55] 2)[56]  Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
[57] 3)[58]  Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
[59] 4)[60]  Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.

Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
[61] 1.[62]  Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
[63] 2.[64]  Tanpa insektisida
Caranya adalah :
[65] 1)[66]  Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
[67] 2)[68]  Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
[69] 3)[70]  Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi).[71] [72] 
1. Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.

a). Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
1.)
Lemah.
2.) Panas atau demam.
3.) Sakit kepala.
4.) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
5.) Nyeri ulu hati.
6.) Nyeri pada otot dan sendi.
7.) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
8.) Konstipasi (sembelit).

b). Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
1) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
2) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
3) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis,
hematoma, hematemesis, melena.
4) Hiperemia pada tenggorokan.
5) Nyeri tekan pada epigastrik.
6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
7) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin,
gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :
[73] 1)[74]  Ig G dengue positif.
[75] 2)[76]  Trombositopenia.
[77] 3)[78]  Hemoglobin meningkat > 20 %.
[79] 4)[80]  Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
[81] 5)[82]  Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil
[83] 1)[84]  SGOT/SGPT mungkin meningkat.
[85] 2)[86]  Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
[87] 3)[88]  Waktu perdarahan memanjang.
[89] 4)[90]  Asidosis metabolik.
[91] 5)[92]  Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.[93] [94] 
2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 yaitu :
[95] 1)[96]  Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
[97] 2)[98]  Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
[99] 3)[100]  Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
[101] 4)[102]  Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
[103] 5)[104]  Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
[105] 6)[106]  Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
[107] 7)[108]  Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
[109] [110]  Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
[111] 9)[112]  Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.[113] [114] 
3. Perencanaan Keperawatan
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
Tujuan :
Suhu tubuh normal (36 – 370C).
Pasien bebas dari demam.
Intervensi :
[115] 1.[116]  Kaji saat timbulnya demam.
Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
[117] 2.[118]  Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
[119] 3.[120]  Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam.±7)
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
[121] 4.[122]  Berikan kompres hangat.
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.
[123] 5.[124]  Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.
[125] 6.[126]  Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.[127] [128] 
2). Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
Tujuan :
Rasa nyaman pasien terpenuhi.
Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
[129] 1.[130]  Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
[131] 2.[132]  Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
[133] 3.[134]  Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
[135] 4.[136]  Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.[137] [138] 
3). Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi :
[139] 1.[140]  Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
[141] 2.[142]  Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien.
[143] 3.[144]  Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan .
[145] 4.[146]  Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual.
[147] 5.[148]  Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
[149] 6.[150]  Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.
[151] 7.[152]  Ukur berat badan pasien setiap minggu.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien[153] [154] 
4). Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
dinding plasma.
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi.
Intervensi :
[155] 1.[156]  Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
[157] 2.[158]  Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.
[159] 3.[160]  Berikan cairan intravena sesuai program dokter
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
[161] 4.[162]  Anjurkan pasien untuk banyak minum.
Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
[163] 5.[164]  Catat intake dan output.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.[165] [166] 
5). Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
Tujuan :
Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Intervensi :
[167] 1.[168]  Kaji keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.
[169] 2.[170]  Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
[171] 3.[172]  Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat.
[173] 4.[174]  Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.
Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.[175] [176] 
6). Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan
Tubuh
Tujuan :
Tidak terjadi syok hipovolemik.
Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Keadaan umum baik.
Intervensi :
[177] 1.[178]  Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.
[179] 2.[180]  Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.
[181] 3.[182]  Monitor tanda perdarahan.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.
[183] 4.[184]  Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
[185] 5.[186]  Berikan transfusi sesuai program dokter.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.
[187] 6.[188]  Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.[189] [190] 
7). Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi pada pasien.
Intervensi :
[191] 1.[192]  Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.
Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.
[193] 2.[194]  Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.
[195] 3.[196]  Observasi daerah pemasangan infus.
Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.
[197] 4.[198]  Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis.
Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut.[199] [200] 
8). Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
Tujuan :
Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
Jumlah trombosit meningkat.
Intervensi :
[201] 1.[202]  Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
[203] 2.[204]  Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.
[205] 3.[206]  Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.
[207] 4.[208]  Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.
9). Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan
yang dialami pasien.
Tujuan :
Kecemasan berkurang.
Intervensi :
[209] 1.[210]  Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.
[211] 2.[212]  Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat.
[213] 3.[214]  Tunjukkan sifat empati
Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.
[215] 4.[216]  Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : Meringankan beban pikiran pasien.
[217] 5.[218]  Gunakan komunikasi terapeutik
Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.
4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.
5. Evaluasi Keperawatan.
Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.
Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :
[219] 1)[220]  Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
[221] 2)[222]  Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
[223] 3)[224]  Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
[225] 4)[226]  Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
[227] 5)[228]  Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
[229] 6)[230]  Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
[231] 7)[232]  Infeksi tidak terjadi.
[233] [234]  Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
[235] 9)[236]  Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta.
Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.
Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC ; Jakarta


 [1]<!--[if !supportLists]-->
 [2]<!--[endif]-->
 [3]<!--[if !supportLists]-->
 [4]<!--[endif]-->
 [5]<!--[if !supportLists]-->
 [6]<!--[endif]-->
 [7]<!--[if !supportLists]-->
 [8]<!--[endif]-->
 [9]<!--[if !supportLists]-->
 [10]<!--[endif]-->
 [11]<!--[if !supportLists]-->
 [12]<!--[endif]-->
 [13]<!--[if !supportLists]-->
 [14]<!--[endif]-->
 [15]<!--[if !supportLists]-->
 [16]<!--[endif]-->
 [17]<!--[if !supportLists]-->
 [18]<!--[endif]-->
 [19]<!--[if !supportLists]-->
 [20]<!--[endif]-->
 [21]<!--[if !supportLists]-->
 [22]<!--[endif]-->
 [23]<!--[if !supportLists]-->
 [24]<!--[endif]-->
 [25]<!--[if !supportLists]-->
 [26]<!--[endif]-->
 [27]<!--[if !supportLists]-->
 [28]<!--[endif]-->
 [29]<!--[if !supportLists]-->
 [30]<!--[endif]-->
 [31]<!--[if !supportLists]-->
 [32]<!--[endif]-->
 [33]<!--[if !supportLists]-->
 [34]<!--[endif]-->
 [35]<!--[if !supportLists]-->
 [36]<!--[endif]-->
 [37]<!--[if !supportLists]-->
 [38]<!--[endif]-->
 [39]<!--[if !supportLists]-->
 [40]<!--[endif]-->
 [41]<!--[if !supportLists]-->
 [42]<!--[endif]-->
 [43]<!--[if !supportLists]-->
 [44]<!--[endif]-->
 [45]<!--[if !supportLists]-->
 [46]<!--[endif]-->
 [47]<!--[if !supportLists]-->
 [48]<!--[endif]-->
 [49]<!--[if !supportLists]-->
 [50]<!--[endif]-->
 [51]<!--[if !supportLists]-->
 [52]<!--[endif]-->
 [53]<!--[if !supportLists]-->
 [54]<!--[endif]-->
 [55]<!--[if !supportLists]-->
 [56]<!--[endif]-->
 [57]<!--[if !supportLists]-->
 [58]<!--[endif]-->
 [59]<!--[if !supportLists]-->
 [60]<!--[endif]-->
 [61]<!--[if !supportLists]-->
 [62]<!--[endif]-->
 [63]<!--[if !supportLists]-->
 [64]<!--[endif]-->
 [65]<!--[if !supportLists]-->
 [66]<!--[endif]-->
 [67]<!--[if !supportLists]-->
 [68]<!--[endif]-->
 [69]<!--[if !supportLists]-->
 [70]<!--[endif]-->
 [71]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [72]<!--[endif]-->
 [73]<!--[if !supportLists]-->
 [74]<!--[endif]-->
 [75]<!--[if !supportLists]-->
 [76]<!--[endif]-->
 [77]<!--[if !supportLists]-->
 [78]<!--[endif]-->
 [79]<!--[if !supportLists]-->
 [80]<!--[endif]-->
 [81]<!--[if !supportLists]-->
 [82]<!--[endif]-->
 [83]<!--[if !supportLists]-->
 [84]<!--[endif]-->
 [85]<!--[if !supportLists]-->
 [86]<!--[endif]-->
 [87]<!--[if !supportLists]-->
 [88]<!--[endif]-->
 [89]<!--[if !supportLists]-->
 [90]<!--[endif]-->
 [91]<!--[if !supportLists]-->
 [92]<!--[endif]-->
 [93]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [94]<!--[endif]-->
 [95]<!--[if !supportLists]-->
 [96]<!--[endif]-->
 [97]<!--[if !supportLists]-->
 [98]<!--[endif]-->
 [99]<!--[if !supportLists]-->
 [100]<!--[endif]-->
 [101]<!--[if !supportLists]-->
 [102]<!--[endif]-->
 [103]<!--[if !supportLists]-->
 [104]<!--[endif]-->
 [105]<!--[if !supportLists]-->
 [106]<!--[endif]-->
 [107]<!--[if !supportLists]-->
 [108]<!--[endif]-->
 [109]<!--[if !supportLists]-->
 [110]<!--[endif]-->
 [111]<!--[if !supportLists]-->
 [112]<!--[endif]-->
 [113]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [114]<!--[endif]-->
 [115]<!--[if !supportLists]-->
 [116]<!--[endif]-->
 [117]<!--[if !supportLists]-->
 [118]<!--[endif]-->
 [119]<!--[if !supportLists]-->
 [120]<!--[endif]-->
 [121]<!--[if !supportLists]-->
 [122]<!--[endif]-->
 [123]<!--[if !supportLists]-->
 [124]<!--[endif]-->
 [125]<!--[if !supportLists]-->
 [126]<!--[endif]-->
 [127]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [128]<!--[endif]-->
 [129]<!--[if !supportLists]-->
 [130]<!--[endif]-->
 [131]<!--[if !supportLists]-->
 [132]<!--[endif]-->
 [133]<!--[if !supportLists]-->
 [134]<!--[endif]-->
 [135]<!--[if !supportLists]-->
 [136]<!--[endif]-->
 [137]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [138]<!--[endif]-->
 [139]<!--[if !supportLists]-->
 [140]<!--[endif]-->
 [141]<!--[if !supportLists]-->
 [142]<!--[endif]-->
 [143]<!--[if !supportLists]-->
 [144]<!--[endif]-->
 [145]<!--[if !supportLists]-->
 [146]<!--[endif]-->
 [147]<!--[if !supportLists]-->
 [148]<!--[endif]-->
 [149]<!--[if !supportLists]-->
 [150]<!--[endif]-->
 [151]<!--[if !supportLists]-->
 [152]<!--[endif]-->
 [153]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [154]<!--[endif]-->
 [155]<!--[if !supportLists]-->
 [156]<!--[endif]-->
 [157]<!--[if !supportLists]-->
 [158]<!--[endif]-->
 [159]<!--[if !supportLists]-->
 [160]<!--[endif]-->
 [161]<!--[if !supportLists]-->
 [162]<!--[endif]-->
 [163]<!--[if !supportLists]-->
 [164]<!--[endif]-->
 [165]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [166]<!--[endif]-->
 [167]<!--[if !supportLists]-->
 [168]<!--[endif]-->
 [169]<!--[if !supportLists]-->
 [170]<!--[endif]-->
 [171]<!--[if !supportLists]-->
 [172]<!--[endif]-->
 [173]<!--[if !supportLists]-->
 [174]<!--[endif]-->
 [175]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [176]<!--[endif]-->
 [177]<!--[if !supportLists]-->
 [178]<!--[endif]-->
 [179]<!--[if !supportLists]-->
 [180]<!--[endif]-->
 [181]<!--[if !supportLists]-->
 [182]<!--[endif]-->
 [183]<!--[if !supportLists]-->
 [184]<!--[endif]-->
 [185]<!--[if !supportLists]-->
 [186]<!--[endif]-->
 [187]<!--[if !supportLists]-->
 [188]<!--[endif]-->
 [189]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [190]<!--[endif]-->
 [191]<!--[if !supportLists]-->
 [192]<!--[endif]-->
 [193]<!--[if !supportLists]-->
 [194]<!--[endif]-->
 [195]<!--[if !supportLists]-->
 [196]<!--[endif]-->
 [197]<!--[if !supportLists]-->
 [198]<!--[endif]-->
 [199]<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
 [200]<!--[endif]-->
 [201]<!--[if !supportLists]-->
 [202]<!--[endif]-->
 [203]<!--[if !supportLists]-->
 [204]<!--[endif]-->
 [205]<!--[if !supportLists]-->
 [206]<!--[endif]-->
 [207]<!--[if !supportLists]-->
 [208]<!--[endif]-->
 [209]<!--[if !supportLists]-->
 [210]<!--[endif]-->
 [211]<!--[if !supportLists]-->
 [212]<!--[endif]-->
 [213]<!--[if !supportLists]-->
 [214]<!--[endif]-->
 [215]<!--[if !supportLists]-->
 [216]<!--[endif]-->
 [217]<!--[if !supportLists]-->
 [218]<!--[endif]-->
 [219]<!--[if !supportLists]-->
 [220]<!--[endif]-->
 [221]<!--[if !supportLists]-->
 [222]<!--[endif]-->
 [223]<!--[if !supportLists]-->
 [224]<!--[endif]-->
 [225]<!--[if !supportLists]-->
 [226]<!--[endif]-->
 [227]<!--[if !supportLists]-->
 [228]<!--[endif]-->
 [229]<!--[if !supportLists]-->
 [230]<!--[endif]-->
 [231]<!--[if !supportLists]-->
 [232]<!--[endif]-->
 [233]<!--[if !supportLists]-->
 [234]<!--[endif]-->
 [235]<!--[if !supportLists]-->
 [236]<!--[endif]-->